RGu3u8BLriTwtLKTeinGPrfojNsvmeTyU6ah0e1k

Mengenal Arti Sekolah Ramah Anak Dan Syarat Minimal Mendapatkan Label Tersebut

Belakangan ini sedang hangatnya diperbincangkan tentang pelaksaan program Sekolah ramah anak. Sudah banyak daerah yang berlomba mengumumkan bahwa daerahnya mendukung program tersebut dan akan menjalankannya. Misalnya Yogyakarta memulainya dengan membentuk komitmen bersama dari setiap sekolah. Sedangkan kota Solo mendeklarasikan Sekolah Ramah Anak sekaligus Puskesmas Ramah Anak dengan berlandaskan kepada Surat Keputusan (SK) Walikota. Bahkan Provinsi Sulawesi Selatan sudah memulai terlebih dahulu pada tahun 2017 dengan membentuk Gerakan 1000 Komitmen MESRA (Menuju Sekolah ramah anak).

Lalu kamu sudah tahu belum tentang program Sekolah Ramah Anak ini? Dan apa yang menjadikan sebuah sekolah bisa mendapatkan “label” Sekolah Ramah Anak?

Sekolah Ramah Anak dalam Peraturan Menteri Nomor 12 Tahun 2011 didefinisikan sebagai sekolah yang dapat menjamin pemenuhan hak anak dalam proses belajar mengajar yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan dan diskriminasi, serta dapat menciptakan ruang bagi anak untuk mereka belajar berinteraksi, berpartisipasi, bekerja sama, menghargai keberagaman, toleransi, serta perdamaian.

Masih berdasarkan dari sumber yang sama, sebuah sekolah bisa mendapatkan “label” Sekolah Ramah Anak saat sudah memenuhi beberapa kriteria dibawah ini :

· Memiliki kebijakan anti kekerasan (sesama siswa, tenaga pendidik dan kependidikan, dan juga pegawai sekolah lainnya). 
· Memiliki program UKS atau Usaha Kesehatan Sekolah. 
· Memiliki lingkungan sekolah yang bersih serta sehat. 
· Menerapkan PHBS atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. 
· Termasuk sekolah Adiwiyata. 
· Memiliki warung atau kantin yang jujur. 
· Melibatkan siswa didalam pembuatan kebijakan sekolah.

Beberapa hal yang menjadikan program Sekolah Ramah Anak ini terlihat baru adalah pada penekanan hak anak untuk terlindung dari kekerasan dan pendapatnya dihargai. Hal tersebut juga tercermin dari Komponen Sekolah Ramah Anak yang menyebutkan bahwa dalam proses belajar dan partisipasi anak itu harus digunakannya disiplin positif.

Pastinya hal tersebut akan menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi para pendidik untuk meninggalkan “tradisi” mendisiplinkan siswanya dengan cara memarahi, mencubit, atau bahkan menamparnya. Ini merupakan satu contoh kecil tentang kekerasan yang biasanya terjadi dari interaksi antara pendidik dengan siswanya.

Lalu bagaimana dengan kasus perundungan di Sekolah yang seringkali terdengar terjadi akhir akhir ini? Saat adanya seorang siswa yang terlibat baik sebagai pelaku ataupun korbannya, maka langkah apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah perundungan tersebut? Bagaimana Sekolah Ramah Anak dapat menjadi solusi atas masalah perundungan anak tersebut? Untuk mengatasinya apakah hanya cukup dengan membuat kebijakan anti perundungan anak di sekolah? Seperti syarat minimal yang sudah tercantum dalam Sekolah Ramah Anak? Atau adakah inovasi lain yang dapat dilakukan untuk mengatasinya?

Sebagai contoh di India, adanya seorang guru bersama muridnya yang membuat pertunjukkan teatrikal untuk mencegah kasus perundungan anak di sekolah. Hal tersebut berdasarkan kepada keyakinan mereka yang jika menggunakan cara tradisional seperti memberi hukuman dalam menangangi kasus perundungan anak itu tidak akan dapat menyelesaikan akar masalahnya.

Selain itu juga kurang dijelaskan lebih jauh tentang partisipasi anak dalam sekolah. Hal tersebut tanpa ada maksud untuk mengecilkan pencapaian pemerintah didalam mendorong partisipasi dan suara anak melalui Forum Anak. Akankah kata “partisipasi” tersebut merujuk kepada kegiatan yang sudah umum dilakukan? Misalnya saja partisipasi siswa dalam menjaga kebersihan lingkungan sekolah dan melakukan kegiatan melalui OSIS atau Organisasi Siswa Intra Sekolah. Akan adakah inovasi baru?

Related Posts

Posting Komentar